Pada tahun 1956, secercah harapan sempat tumbuh di tanah Tiongkok yang telah lama dibungkam oleh suara tunggal. Mao Zedong, sang pemimpin besar revolusi, mengumumkan sebuah kebijakan yang tampak luar biasa progresif: "Biarkan seratus bunga mekar, biarkan seratus aliran pemikiran bersaing."
Bagi para cendekiawan, pemikir, dosen, penulis, dan rakyat yang lama hidup dalam ketakutan dan pembungkaman, ini bagaikan udara segar. Mereka menyambutnya dengan penuh harap. Setelah bertahun-tahun hanya mendengar satu suara—suara Partai—tiba-tiba mereka diberi ruang untuk berbicara. Surat-surat kritis mulai berdatangan. Kritik terhadap kebijakan ekonomi, sistem pendidikan, bahkan gaya kepemimpinan Mao sendiri, memenuhi dinding-dinding universitas dan kantor pemerintahan.
Suasana saat itu begitu hidup. Para pemikir tidak lagi merasa sendirian. Mereka bicara dengan jujur, mereka menulis dengan keberanian. Seorang profesor menulis, "Bagaimana bisa kita membangun negeri yang besar ini jika semua pikiran yang berbeda dianggap berbahaya?" Seorang mahasiswa berkata, "Kami mencintai negeri ini, karena itu kami berbicara."
Namun, ternyata itu semua terlalu berat untuk ditanggung Mao Zedong. Seorang yang memimpin revolusi dengan tangan besi, ternyata tidak tahan jika dirinya dikritik. Apa yang awalnya tampak seperti undangan dialog, berubah menjadi jebakan mematikan.
Hanya dalam waktu satu tahun, bunga-bunga itu mulai dicabut paksa. Tahun 1957, Mao membalik arah. Ia meluncurkan Kampanye Anti-Kanan, sebuah gelombang penangkapan besar-besaran terhadap mereka yang telah berani berbicara. Para cendekiawan yang sebelumnya disambut, kini dicap sebagai "kontrarevolusioner". Mereka dipermalukan, dipecat, diinterogasi, dan yang paling menyedihkan: dikirim ke kamp kerja paksa—gulag versi Tiongkok—untuk dihancurkan secara perlahan oleh waktu dan penderitaan.
Beberapa dari mereka tidak pernah kembali. Yang kembali, kembali dalam keadaan hancur. Tidak hanya tubuh, tapi juga jiwa mereka.
Hari ini, kita melihat kembali peristiwa itu bukan hanya sebagai kesalahan politik, tetapi sebagai tragedi kemanusiaan. Sebuah ironi getir di mana sebuah rezim meminta kejujuran hanya untuk menghukum mereka yang jujur.
Dan kita pun bertanya-tanya:
Apakah ini memang sebuah eksperimen sosial yang gagal?
Atau justru—seperti yang diyakini oleh banyak sejarawan—ini adalah jebakan yang telah dirancang sejak awal oleh Mao?
Sebuah strategi dingin untuk menyaring siapa saja yang berani menantangnya. Untuk memotong bunga-bunga yang ia anggap benalu sebelum mereka tumbuh terlalu tinggi.
Jika benar demikian, maka tidak hanya kepercayaan yang dikhianati—tapi juga kemanusiaan itu sendiri.